Dalam kehidupan sehari-hari
kita sering mendengarkan istilah kisah. Kisah biasanya berupa penuturan
seseorang tentang suatu cerita terhadap orang lain. Ketika orang menuturkan
suatu kisah sejarah kepada orang lain, akan diwarnai oleh persepsi si penutur tersebut.
Sejarah sebagai kisah ialah
cerita berupa narasi yang disusun dari memori, kesan, atau tafsiran menusia
terhadap kejadian atau peristiwa yang terjadi atau berlangsung pada waktu
lampau atau sejarah serba subjek. Dengan demikian, dalam sejarah sebagai kisah,
subjektivitas akan muncul. Hal ini berbeda dengan sejarah sebagai
peristiwa.
Dalam sejarah sebagai
peristiwa orang hanya melihat fakta sejarah, bukan mendengar atau membaca kisah
sejarah. Subjektivitas dalam sejarah kisah akan nampak ketika ada dua orang
menuturkan peristiwa sejarah yang sama. Perbedaan ini dapat muncul karena si
penutur cerita tersebut memberikan penafsiran terhadap peristiwa yang ia
tuturkan. Misalnya ketika kita mewancarai orang-orang yang pernah mengalami
atau melihat peristiwa Bandung Lautan Api. Kemungkinan orang-orang yang
mengisahkan peristiwa Bandung Lautan Api akan berbeda mengisahkannya antara
satu dengan yang lainnya.
Apabila yang kita wawancarai
adalah seorang prajurit yang terlibat perang melawan Belanda, mungkin ia akan
menceritakan peristiwa Bandung Lautan Api dalam perspektif dirinya sebagai
seorang tentara yang selalu berperang saat itu.
Namun apabila yang kita
wawancarai misalnya seorang petani, mungkin dia tidak terlalu menceritakan
peristiwa Bandung Lautan Api sebagai bagian dari strategi perjuangan bangsa
Indonesia saat itu.
Kisah sejarah yang disajikan
dapat berupa lisan dan tulisan. Apabila kita mendengarkan seseorang
menceritakan tentang peristiwa Bandung Lautan Api, maka itu termasuk katagori
kisah lisan. Tetapi apabila kita ingin mengetahui peristiwa Bandung Lautan Api
dengan membaca buku-buku yang bercerita tentang Bandung Lautan Api, maka itu
termasuk dalam katagori bentuk kisah tulisan.
Ada kebiasaan pada
orang-orang tertentu mencatat dalam buku hariannya tentang peristiwa-peristiwa
penting. Misalnya seorang jenderal pemimpin perang, mencatat bagaimana strategi
yang dia lakukan ketika menghadapi perang dengan Belanda. Dalam catatannya ini
kita dapat menemukan penuturan bagaimana semangat pasukannya, jumlah
pasukannya, daerah-daerah perlawannya, kekuatan lawan, senjata yang digunakan,
dan hal-hal lainnya. Kemungkinan apabila kita tanyakan kepada anak buahnya
tentang perang tersebut, bisa berbeda kesannya dari apa yang dituturkan oleh
catatan sang jenderal tersebut.
Akhir-akhir ini kita sering
melihat banyak tokoh penting yang menulis biografinya. Buku tersebut biasanya
banyak bercerita tentang peristiwa-peristiwa penting yang dilihat atau dialami
oleh tokoh itu. Tokoh yang menulis biografi tersebut akan memberikan
penilaiannya tersendiri tentang suatu peristiwa. Peristiwa tersebut bisa dinilai
sebagai sesuatu yang positif atau negatif. Tetapi, kalau kita baca biografi
tokoh yang lainnya tentang suatu peristiwa yang sama sebagaimana yang telah
ditulis oleh tokoh sebelumnya, kemungkinan akan memberikan kesan yang
berbeda.
Misalnya tokoh yang mendukung
peristiwa reformasi 1998 di Indonesia akan menyatakan bahwa peristiwa tersebut
sebagai sesuatu yang positif dalam membangun demokratisasi di Indonesia.
Sebaliknya bagi tokoh yang merasa dirugikan kedudukannya dengan adanya
peristiwa reformasi, ada kemungkinan akan memberikan penilaian yang jelek
terhadap peristiwa reformasi.
Buku-buku sejarah yang kamu
baca, merupakan salah satu bentuk dari sejarah sebagai kisah. Sejak kamu duduk
di bangku Sekolah Dasar sampai dengan SMA atau MA sekarang, pelajaran sejarah
sudah diberikan. Buku-buku pelajaran sejarah yang kamu baca di sekolah, banyak
menceritakan sejarah bangsa Indonesia, mulai dari zaman prasejarah, sampai
dengan perkembangan kontemporer.
Cerita-cerita sejarah yang terdapat
dalam buku-buku pelajaran sejarah tersebut, merupakan kesan atau tafsiran dari
si penulis buku. Sebagaimana telah dikemukan di atas, sejarah sebagai kisah
akan bersifat subjektif. Interpretasi atau penafsiran yang dilakukan oleh
penulis sejarah akan subjektif. Subjektivitas tersebut terjadi lebih banyak
disebabkan oleh faktor-faktor kepribadian si penulis atau penutur sejarah.
Faktor-faktor tersebut yaitu sebagai berikut.
1. Kepentingan atau interes
dan nilai-nilai
Kepentingan dalam penulisan sejarah
sangat ditentukan oleh tujuan dari penulisan sejarah tersebut. Dalam penulisan
sejarah tersebut, berbagai kepentingan muncul, baik yang bersifat pribadi,
kelompok, maupun secara formal negara. Misalnya dalam penulisan sejarah sebagai
mata pelajaran di sekolah, maka sangat menonjol kepentingan negara. Pengajaran
sejarah di sekolah memiliki misi untuk membangun semangat kebangsaan. Oleh
karena itu, penulisan sejarah buku ajar harus mengandung nilai-nilai
kebangsaan. Peristiwa-peristiwa yang ditulis diseleksi dan dipilih untuk
kepentingan penanaman nilai-nilai kebangsaan.
Mungkin saja suatu peristiwa
yang ditulis dalam buku pelajaran sejarah sekolah berbeda dengan hasil-hasil
penelitian sejarah yang baru. Buku teks pelajaran sejarah tidak mencantumkan fakta
sejarah berdasarkan hasil penelitian yang baru apabila fakta yang ditemukan
tersebut bertentangan dengan kepentingan pengajaran sejarah di sekolah. Begitu
pula halnya dalam penulisan sejarah yang diwarnai oleh kepentingan individu.
Seorang tokoh akan menulis sejarah dirinya atau biografinya dengan tujuan untuk
menonjolkan peran-peran yang ia lakukan. Dia melihat sejarah yang ada tidak
mencantumkan dirinya.
Berbagai latar belakang
kepentingan akan muncul dalam penulisan sejarah yang memiliki kepentingan
kelompok. Penulisan sejarah daerah biasanya lebih mementingkan pada aspek-aspek
penting di daerah tersebut. Daerah bisa dalam bentuk kota, kabupaten, dan
provinsi. Misalnya sejarah daerah Jawa Barat, penulisan sejarah seperti ini
akan mementingkan hal-hal penting dari sejarah yang ada di Jawa Barat, yang
etnisnya sebagian besar suku Sunda.
Kepentingan agama misalnya
penulisan sejarah perkembangan mesjid-mesjid di Indonesia, bagaimana
perkembangan agama Islam melalui perkembangan mesjid. Sejarah profesi misalnya
sejarah perkembangan profesi guru, bagaimana peran-peran penting yang dilakukan
oleh guru sebagai figur yang terlibat langsung dalam pendidikan.
Subjektivitas ditentukan pula
oleh nilai-nilai yang dimiliki penulis sejarah. Nilai-nilai tersebut dapat
bersumber dari agama, keyakinan, moral, etika, dan lain-lain. Agama yang dianut
oleh seorang penulis dapat menjadi sumber nilai dalam penulisan sejarah.
Misalnya seorang penulis sejarah yang memiliki kegiatan aktif dalam kegiatan
dakwah sebuah organisasi Islam, dia akan menulis sejarah organisasi yang ia
masuki dengan penuh penilaian yang positif terhadap organisasi tersebut. Dia
akan menggambarkan sejarah organisasinya sebagai sebuah organisasi yang
memiliki semangat juang yang tinggi dalam mengembangkan dakwah Islam. Dengan
demikian, pendekatan nilai-nilai keagamaan terdapat dalam penulisan sejarah
tersebut.
Kisah perjuangan yang ditulis
oleh seorang purnawirawan tentang perlawanan bangsa Indonesia dalam menghadapi
Belanda, akan diwarnai dengan nilai-nilai nasionalisme yang tinggi. Cerita
tentang bagaimana heroismenya para pejuang dalam menghadapi penjajahan. Para
pejuang digambarkan sebagai orang-orang yang berperang dalam rangka membela
kebenaran. Belanda atau penjajah digambarkan sebagai pihak yang tidak terpuji
karena menjajah itu bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, sedangkan
para pejuang berada pada pihak yang benar.
Seorang pejuang yang terlibat
langsung dalam perang melawan Belanda akan menuturkan kisah perjuangannya
dengan penuh semangat. Dia akan menuturkan bahwa perjuangan yang ia lakukan
bersifat tanpa pamrih. Rela berkorban dan semangat nasionalisme sangat mewarnai
perjuangan yang ia lakukan. Kisah perjuangannya penuh dengan nilai-nilai berupa
semangat rela berkorban yang tinggi, mementingkan kepentingan bersama, tidak
mementingkan kepentingan pribadi, bahkan jiwa dan raga sebagai taruhannya dalam
berjuang.
2. Kelompok sosialnya
Profesi yang dimiliki oleh
penulis sejarah akan mewarnai hasil penulisannya. Sejarawan, wartawan, guru,
penulis bebas dan lain-lain, merupakan bentuk profesi. Profesi-profesi tersebut
bisa disebut dengan kelompok sosial. Dalam kelompok sosial, biasanya individu
bergaul atau berhubungan dengan sesama pekerjaannya atau statusnya. Tidak
sedikit dari profesi yang bukan sejarawan menulis sejarah. Misalnya, wartawan
menulis peristiwa sejarah dalam surat kepentingan pengajaran sekolahnya.
Setiap kelompok sosial
tersebut kemungkinan akan berbeda dalam memberikan interpretasi terhadap
sejarah yang ditulisnya. Seorang sejarawan, akan menulis sejarah dengan
menggunakan kaidah-kaidah akademik dari ilmu sejarah. Langkah-langkah
penelitian sejarah sebagai salah satu dari disiplin ilmu pengetahuan akan
digunakan oleh sejarawan dalam menulis sejarah. Dalam hal ini, sejarah menjadi
suatu tulisan ilmiah. Kepentingannya adalah untuk lingkungan akademik, misalnya
di perguruan tinggi.
Profesi guru sebagai pendidik
akan menampilkan penulisan sejarah untuk kepentingan nilai-nilai kependidikan.
Hal ini dapat kita lihat dalam buku-buku pelajaran sejarah yang ada di sekolah.
Peristiwa sejarah yang ditampilkan bukan untuk kepentingan akademik yang
bersifat ilmiah, tetapi ditujukan untuk kepentingan nilai-nilai kependidikan
yang bersifat praktis. Walaupun buku sejarah di sekolah ditujukan untuk
kepentingan nilainilai kependidikan, tidaklah berarti mengabaikan aspek ilmiah
dari buku tersebut.
Hanya kadar ilmiah yang
ditampilkan tidak sederajat dengan di perguruan tinggi. Keilmiahan tetap harus
ditampilkan dalam mengungkap sumber sejarah yang merupakan sumber pengetahuan
sejarah. Misalnya dalam menulis perjuangan bangsa Indonesia ketika melawan
Belanda, harus ada sumber yang mengungkap siapa yang berjuang, di mana
perjuangannya, kapan peristiwa itu terjadi dan lain-lainnya. Adapun nilai-nilai
kependidikan yang dapat diinterpretasikan dari peristiwa tersebut misalnya
semangat kebangsaan dalam menentang penjajahan.
Begitu pula halnya penulisan
sejarah yang dilakukan oleh seorang wartawan. Wartawan dalam menulis sejarah
akan diwarnai oleh gaya bahasanya sebagai seorang jurnalis. Tulisan sejarah
seorang wartawan biasanya akan layak dibaca oleh masyarakat umum. Misalnya
dalam menulis biografi seorang tokoh, seorang wartawan berusaha agar tokoh
tersebut dapat dikenal oleh khalayak umum.
3. Perbendaharaan pengetahuan
Pengetahuan yang dimiliki
oleh seseorang akan berpengaruh terhadap hasil karya tulis sejarah yang
ditulisnya. Profesi yang dimiliki oleh seseorang dapat menjadi ukuran seberapa
jauh pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan tersebut dapat berupa
pengetahuan fakta maupun pengetahuan dari ilmu pengetahuan. Penulis yang
memiliki pengetahuan fakta yang banyak, maka cerita sejarahnya akan lebih
lengkap, mendetail, dan memberikan informasi yang lebih banyak.
Penutur lisan pun akan
dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimilikinya ketika ia menuturkan kisah
sejarah. Kisah sejarah akan memiliki perbedaan antara seorang penutur yang
mengalami langsung peristiwa tersebut dengan yang tidak langsung
menyaksikannya. Seorang saksi yang melihat suatu peristiwa sejarah akan
memiliki pengetahuan fakta yang lebih banyak dibanding dengan orang yang tidak
terlibat langsung, walaupun orang tersebut mengetahuinya.
Misalnya, apabila kita
menanyakan kepada seorang mantan prajurit pada masa perang dengan Belanda, maka
ceritanya akan lebih lengkap. Dia akan menceritakan bagaimana strategi yang
dilakukan agar tidak diketahui oleh Belanda, bagaimana sikap masyarakat yang
membantu para pejuang, berapa orang yang ikut terlibat, dan pengetahuan-pengetahuan
fakta lainnya.
Lain halnya kalau kita
menanyakan kisah perjuangan kepada seorang petani. Mungkin petani itu tahu
adanya serangan Belanda ke daerahnya, akan tetapi pada saat itu ia tidak
melakukan tindakan membalas serangan Belanda sebagaimana yang dilakukan oleh
prajurit. Ketika peristiwa itu terjadi, mungkin petani tersebut mengungsi
sehingga informasi tentang perjuangan melawan Belanda sangat terbatas.
Sebagaimana telah
dikemukakan, pengetahuan dalam ilmu pengetahuan dapat mempengaruhi dalam hal
penuturan kisah sejarah. Seorang yang memiliki ilmu pengetahuan sejarah akan
berbeda dengan orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan sejarah. Sejarawan
akan kaya dengan pendekatan penulisan, dibandingkan dengan seorang guru,
sehingga karya sejarahnya pun akan memberikan interpretasi yang berbeda.
Seorang penulis sejarah yang
berasal dari kalangan sejarawan atau orang yang memiliki latar belakang
pendidikan ilmu sejarah, akan memiliki perbedaan dalam mengisahkan sejarah
dengan orang yang bukan sejarawan atau tidak memiliki latar belakang pendidikan
ilmu sejarah. Dalam mengisahkan suatu peristiwa sejarah, seorang sejarawan atau
orang yang memiliki latar belakang pendidikan sejarah, akan menggunakan
analisis berdasarkan pada metodologi dan teori yang digunakannya.
Bukan hanya sekedar cerita
yang bersifat naratif atau hanya menyajikan rentetan waktu dan peristiwa.
Sejarah pada dasarnya adalah sejarah masyarakat, maka sejarawan akan melihat
masyarakat sebagai suatu struktur. Dalam konteks waktu bagaimana struktur itu
berubah. Misalnya bagaimana perubahan yang terjadi pada masyarakat dalam suatu
desa dari tahun 1970-1980 ketika munculnya industrialisasi dalam bentuk
dibangunnya pabrik-pabrik di daerah desa tersebut ? Apakah masyarakat berubah
pekerjaan dari petani menjadi tukang ojek; dari petani menjadi kuli bangunan
atau dari petani menjadi buruh pabrik ?
Lain halnya kalau sejarah
dikisahkan oleh orang yang bukan seorang sejarawan. Kisah sejarah lebih banyak
berupa cerita yang sebatas pada rentetan waktu dan peristiwa. Seleksi terhadap
fakta-fakta sejarah tidak bersifat analisis. Kisah cerita sejarah lebih banyak
menampilkan apa yang terjadi, siapa tokohnya, kapan peristiwa itu terjadi, dan
di mana peristiwa itu terjadi. Bahkan kalau sejarah itu bercerita tentang
seseorang pada masa lalunya, ada kesan bahwa orang tersebut melakukan suatu
tindakan yang benar, tidak ada kesalahannya.
Penulisan sejarah yang seperti inilah yang biasanya menimbulkan kontroversial di kalangan masyarakat. Kritik terhadap sumber yang bersifat analitis tidak banyak dilakukan. Kebenaran bukan didasarkan pada sumber atau faktanya, tetapi lebih pada cerita yang dikisahkannya atau sering dikatakan retorikanya.
Penulisan sejarah yang seperti inilah yang biasanya menimbulkan kontroversial di kalangan masyarakat. Kritik terhadap sumber yang bersifat analitis tidak banyak dilakukan. Kebenaran bukan didasarkan pada sumber atau faktanya, tetapi lebih pada cerita yang dikisahkannya atau sering dikatakan retorikanya.
4. Kemampuan berbahasa
Pengkisahan dalam bentuk
tulisan pada dasarnya merupakan kemampuan berbahasa yang ditampilkan dalam
bentuk tulisan. Interpretasi terhadap sumber-sumber sejarah akan menggunakan
kaidah-kaidah bahasa penulisan. Dalam bahasa, seseorang yang memiliki kemampuan
berbahasa Indonesia yang baik akan berbeda dengan yang tidak terampil dalam
bahasa tulisan. Seorang penulis yang kurang terampil berbahasa tulisan, mungkin
saja cerita sejarah yang ditampilkannya sulit dipahami karena bahasa yang
digunakan kurang baik. Walaupun pemaparan faktanya cukup banyak.
Penulisan sejarah pada
dasarnya merupakan suatu kemampuan merekonstruksi sumber-sumber sejarah dalam
berupa tulisan cerita. Kemampuan merekonstruksi sangat ditentukan oleh
kemampuan berimajinasi. Berimajinasi dalam menulis sejarah yaitu bagaimana
seorang penulis sejarah merekonstruksi fakta-fakta atau bukti-bukti sejarah
yang kemudian ia susun dalam bentuk cerita sejarah yang dapat dibaca oleh orang
lain. Peninggalan-peninggalan sejarah yang berupa benda mati, akan menjadi
hidup manakala direkonstruksi dalam cerita sejarah. Apabila kemampuan imajinasi
tidak dimiliki oleh seorang penulis sejarah, maka cerita sejarahnya menjadi
kering, tidak hidup.
Rekonstruksi ibarat membentuk
suatu bangunan. Misalnya sumber sejarah itu ibarat batang korek api. Apabila
batang korek api yang berserakan itu kita rekonstruksi menjadi suatu bentuk
mainan, maka kumpulan batang korek api itu menjadi menarik. Bentuk bangunan
korek api yang merupakan hasil rekonstruksi itu akan sangat ditentukan oleh
kemampuan berbahasa.
Merekonstruksi imajinasi
merupakan kemampuan berbahasa. Bentuk mainan korek api itu menjadi menarik,
indah dipandang, sama halnya dengan penggunaan gaya bahasa imajinatif yang
indah dan enak dibaca. Masa lalu akan menjadi hidup manakala seorang penulis
sejarah mampu mengkisahkan dengan gaya bahasa yang baik.
No comments:
Post a Comment