Makalah Penyebab Timbulnya Sengketa Internasional Dan Cara Penyelesaian Oleh Mahkamah Internasional




MAKALAH
Penyebab Timbulnya Sengketa Internasional
Dan Cara Penyelesaian Oleh Mahkamah Internasional













 









Kelompok 7 :








MA ABADIYAH
TAHUN PELAJARAN 2016/2017












BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda
Salah satu tujuan penyelesaian sengketa internasional adalah untuk mencegah dan menghindari terjadinya peperangan antar negara dan penggunaan kekerasan.Karena apabila terjadi persengketaan dikhawatirkan dapat menimbulkan krisis dan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional.
Usaha penyelesaian sengketa ini mutlak diperlukan sebelum persengketaan itu mengarah pada suatu pelanggaran terhadap perdamaian dan keamanan internasional.

B.     Rumusan Masalah
1.        Apa yang dimaksud dengan sengketa internasional?
2.        Bagaimana cara penyelesaian sengketa internasional?
3.        Apa peranan mahkamah internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional?


















BAB II
PEMBAHASAN

A.        Sengketa Internasional
Sengketa internasional (International despute), adalah perselisihan yang terjadi antara Negara dengan Negara, Negara dengan individu-individu, atau Negara dengan lembaga internasional yang menjadi subyek hukum internasional.
Sebab-sebab sengketa internasional :
1.        Salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya dalam mperjanjiann internasional.
2.        Perbedaan penafsiran mengenai isi perjanjian internasional
3.        Perebutan sumber-sumber ekonomi
4.        Perebutan pengaruh ekonomi, politik, atau keamanan regional dan internasional.
5.        Adanya intervensi terhadap kedayulatan Negara lain.
6.        Penghinaan terhadap harga diri bangsa.

Sengketa internasional adalah suatu perselisihan antara subjek-subjek hukum internasional mengenai fakta, hukum atau politik dimana tuntutan atau pernyataan satu pihak ditolak, dituntut balik atau diingkari oleh pihak lainnya.
Contoh sebab timbulnya sengketa internasional yang sangat potensial terjadinya perang terbuka :
1.    Segi Politis (adanya fakta pertahanan / fakta perdamaian).
Pasca Perang Dunia II (1945) muncul dua kekuatan besar yaitu Blok Barat (NATO pimpinan AS) dan Blok Timur (PAKTA WARSAWA pimpinan Uni Soviet). Mereka bersaing berebut pengaruh di bidang Ideologi, Ekonomi, dan Persenjataan. Akibatnya sering terjadi konflik di berbagai negara, missalnya Krisis Kuba, Perang Korea (Korea Utara didukung Blok Timur dan Korea Selatan didukung Blok Barat), Perang Vietnam dll.

2.    Batas Wilayah.
Suatu Negara berbatasan dengan wilayah Negara lain. Kadang antar Negara terjadi ketidak sepakatan tentang batas wilayah masing – masing. Misalnya Indonesia dengan Malaysia tentang Pulau Sipadan dan Ligitan (Kalimantan). Sengketa ini diserahkan kepada Mahkamah Internasional dan pada tahun 2003 sengketa itu dimenangkan oleh Malaysia.
Dengan runtuhnya Blok Timur dengan ditandai runtuhnya Tembok Berlin tahun 1989 maka AS muncul sebagai kekuatan besar (Negara Adikuasa). Sehingga cenderung membawa dunia dalam tatanan yang bersifat UNIPOLAR artinya AS bertindak sebagai satu – satunya kekuatan yang mengendalikan sebagian besar persoalan di dunia. Akibatnya cenderung muncul sengketa di dunia internasional.

B.        Cara Penyelesaian Sengketa Internasional
Secara umum terdapat dua cara penyelesaian sengketa yaitu penyelesaian sengketa secara damai dan penyelesaian sengketa dengan paksa atau kekerasan.

a.      Penyelesaian secara damai
Penyelesaian sengketa internasional secara damai dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :
1.        Rujuk
Rujuk adalah penyelesaian sengketa melalui usaha penyesuaian pendapat antara pihak yang bersengketa secara kekeluargaan. Rujuk dapat dilakukan dengan jalan :
a.       Negoisasi, yaitu perundingan antara pihak yang bersengketa sebagai sarana untuk menetapkan sikap tentang masalah yang disengketakan.
b.      Mediasi, merupakan bantuan jasa baik dari pihak ketiga. Pihak ketiga lebih bersingkap aktif, misalnya berusaha mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa, memberikan saran-saran agar sengketa dapat diselesaikan secara damai.
c.       Konsiliasi, dapat diarktikan secara luas dan secara sempit. Secara luas, konsiliasi berarti penyelesaian sengketa dengan bantuan pihak ketiga yang tidak memihak. Secara sempit, konsiliasi berarti penyerahan sengketa pada suatu panitia. Panitia menyelidiki persengketaan kedua belah pihak kemudian akan memberikan usul.
d.      Rujuk dapat dilakukan dengan bantuan panitia penyelidikan. Panitia penyelidikan bertugas menyelediki kepastian peristiwa dan kemudian menyiapkan penyelesaian yang disepakati.
2.        Penyelesaian sengketa di bawah pengawasan PBB
Peran PBB dalam menyelesaikan secara politik dilakukan oleh Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB, sedangkan penyelesaian secara hukum dilakukan oleh Mahkamah Internasional.
Majelis Umum PBB menangani sengketa dengan jalan memberikan rekomendasi kepada negara yang bersengketa mengenai tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan secara damai demi terwujudnya kesejahteraan dan persahabatan. Sengketa yang ditangani Dewan Keamanan PBB dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu :
a.    Sengketa yang membahayakan perdamaian dan keamanan internasional. Dewan Keamanan PBB dapat merekomendasikan cara yang tepat diantara cara negosiasi, mediasi, penyelidikan dan sebagainya.
b.    Peristiwa ancaman perdamaian, pelanggaran perdamaian, atau agresi. Dewan keamanan PBB berwenang merekomendasikan hal-hal yang diperlukan untuk mempertahankan atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional, atau meminta pihak-pihak yang bersengketa untuk memeuhi aturan atau tindakan yang ditetapkan.
3.        Arbitrasi
Arbitrasi adalah cara penyelesaian sengketa dengan mengajukan sengketa kepada orang-orang tertentu yang dipilih secara bebas oleh pihak-pihak yang bersengketa, yang disebut Arbitrator, biasanya berasal dari negara yang bersangkutan.
Penyerahan penyelesaian sengketa kepada arbitrator dapat dilakukan melalui perjanjian internasional antara negara yang bertikai. Didalam perjanjian itu diatur pokok-pokok sengketa, batas kewenangan, prosedur, dan ketentuan yang dijadikan dasar pembuatan keputusan arbitrasi. Keputusan yang diambil tidak harus berdasar hukum, tetapi dapat berdasar ataas kepantasan atau kebaikan. Peraturan arbitrasi internasional ditetapkan dalam Konvensi Den Haag tahu 1899 dan 1907.
4.        Peradilan Internasional
Penyelesaian sengketa melalui peradilan internasional adalah penyelesaian dengan penerapan hukum oleh badan peradilan internasional. Dalam memutuskan masalah hanya berdsarkan ketentuan hukum dan bersifat terbuka. Peradilan internasional dapat dilakukan pula oleh bada peradilan internasional lain dengan persetujuan pihak-pihak yang bersengketa.

Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai adalah:
1.        Prinsip itikad baik (good faith);
2.        Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa;
3.        Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa ;
4.        Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa;
5.        Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus);
6.        Prinsip penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan suatu sengketa prinsip exhaustion of local remedies);
7.        Prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.

Disamping ketujuh prinsip di atas, Office of the Legal Affairs PBB memuat prinsip-prinsip lain yang bersifat tambahan, yaitu:
a.    Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri para pihak;
b.    Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri;          
c.    Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara;
d.    Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional.


b.      Penyelesaian sengketa dengan kekerasan
Penyelesaian sengketa dengan kekerasan yaitu penyelesaian sengketa menggunakan sarana pemaksaan, antara lain dengan blokade, pertikaian bersenjata, reprisal, dan retorsi.
1)        Blokade
Blokade adalah pengepungan wilayah untuk memutuskan hubungan wilayah itu dengan pihak luar, misalnya blokade atau pengepungan suatu kota atau pelabuhan. Blokade di masa sekarang dianggap penyelesaian sengketa yang sudah asing, karena blokade sebagai tindakan sepihak bertentangan dengan Piagam PBB, yang menyebutkkan bahwa blokade hanya boleh dilakukan oleh anggota-anggota PBB yang ditetapkan oleh Dewan Keamanan dalam rangka memelihara perdamaian dan keamanan. Namun banyak blokade dilakukan oleh negara besar untuk kepentingan bersama, misalnya untuk mencegah terjadinya perang. Ada dua macam blokade, yaitu blokade masa damai dan blokade masa perang. Akibat hukum blokade masa damai yaitu negara yang memblokade tidak berhak menangkap kapal perang, negara pihak ketiga yang melanggar blokade, tetapi blokade di masa perang adalah negara yang memblokade berhak memeriksa kapal perang netral atau negara ketiga.
2)        Pertikaian senjata
Pertikaian senjata adalah pertentangan yang disertai penggunaan kekerasan dengan tujuan menundukkan lawan dan menetapkan persyaratan damai secara sepihak. Pertikaian senjata harus dibedakan dengan pengertian perang. Yang dimaksud dengan perang adalah pertikaian bersenjata yang memnuhi persyaratan tertentu, yaitu pihak-pihak yang bertikai adalah negara dan pertikaian itu disertai pernyataan perang.
3)        Reprisal
Reprisal yaitu pembalasan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap tindakan yang melanggar hukum dari negara lawan dalam suatu pertikaian. Reprisal di masa damai di benarkan apabila negara yang dikenai perbuatan reprisal bersalah melakukan kejahatan internasional. Misalnya, berupa pemboikotan barang, embargo, demonstrasi angkatan laut dan sebagainya.
4)        Retorsi
Retorsi adalah pembalasan yang dilakukan oleh suatu negara terhadap tindakan yang tidak pantas dari negara lain, misalnya pengetatan hubungan diplomatik, penghapusan hak istimewa diplomatik. Penggunaan retorsi secara sah oleh negara anggota PBB terikat pada ketentuan Piagam PBB, yang pada intinya tidak mengganggu perdamaian dan keamanan internasional. Jadi retorsi merupakan perbuatan yang sah dan tidak melanggar hukum.



C.        Peranan Mahkamah Internasional Dalam Menyelesaikan Sengketa Internasional
Ketentuan hukum internasional telah melarang penggunaan kekerasan dalam hubungan antar negara. Keharusan ini seperti tercantum pada Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-Sengketa Secara Damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat (3) Piagan Perserikatan bangsa-Bangsa dan selanjutnya oleh Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar Negara. Deklarasi tersebut meminta agar“semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan internasional dan keadilan tidak sampai terganggu”.
Penyelesaian sengketa secara damai dibedakan menjadi: penyelesaian melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Yang akan dibahas pada kesemapatan kali ini hanyalah penyelesaian perkara melalui pengadilan. Penyelesaian melalui pengadilan dapat ditempuh melalui:   
a.       Arbitrase Internasional
Penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase internasional adalah pengajuan sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih secara bebas oleh para pihak, yang memberi keputusan dengan tidak harus terlalu terpaku pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Arbitrase adalah merupakan suatu cara penerapan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas yang telah disetujui sebelumnya oleh para pihak yang bersengketa. Hal-hal yang penting dalam arbitrase adalah;
(a) perlunya persetujuan para pihak dalam setiap tahap proses arbitrase, dan
(b) sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum.
Secara  esensial,  arbitrase  merupakan  prosedur  konsensus,  karenanya persetujuan para pihaklah yang mengatur pengadilan arbitrase. Arbitrase terdiri dari seorang arbitrator atau komisi bersama antar anggota-anggota yang ditunjuk oleh para pihak atau dan komisi campuran, yang terdiri dari orang-orang yang diajukan oleh para pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara lain.Pengadilan  arbitrase  dilaksanakan  oleh  suatu  “panel  hakim”  atau arbitrator yang dibentuk atas dasar persetujuan khusus para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang telah ada. Persetujuan arbitrase tersebut dikenal dengan compromis (kompromi) yang memuat; (a) persetujuan para pihak untuk terikat pada keputusan arbitrase, (b) metode pemilihan panel arbitrase, (c) waktu dan tempat (dengar pendapat),(d) batasfakta yang harus dipertimbangkan, dan (e)  prinsip-prinsip  hukum  atau  keadilan  yang  harus diterapkan untuk mencapai suatu kesepakatan. (Burhan Tsani, 1990, 214)
Masyarakat internasional sudah menyediakan beberapa institusi arbitrase internasional, antara lain
a.         Pengadilan Arbitrase Kamar Dagang Internasional (Court  of  Arbitration  of  the  International  Chamber  of  Commerce)  yang didirikan di Paris, tahun 1919,
b.        pusat Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal  Internasional  (International  Centre  for  Settlement  of  Investment Disputes) yang berkedudukan di Washington DC,
c.         Pusat Arbitrase Dagang Regional  untuk  Asia  (Regional  Centre  for  Commercial  Arbitration), berkedudukan di Kuala Lumpur, Malaysia dan
d.        Pusat Arbitrase Dagang Regional  untuk  Afrika  (Regional  Centre  for  Commercial  Arbitration), berkedudukan di Kairo, Mesir. (Burhan Tsani; 216)   

b.      Pengadilan Internasional
Pada permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa mendorong masyarakat internasional untuk membentuk suatu badan peradilan yang bersifat permanent, yaitu mulai dari komposisi, organisasi, wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat sebelumnya dan bebas dari kehendak negara-negara yang bersengketa. Pasal  14  Liga  Bangsa-Bangsa  menugaskan  Dewan  untuk  menyiapkan sebuah institusi Mahkamah Permanen Internasional. Namun, walaupun didirikan oleh Liga Bangsa-Bangsa, Mahkamah Permanen Internasional, bukanlah organ dari  Organisasi  Internasional  tersebut.  Hingga  pada  tahun  1945,  setelah berakhirnya  Perang  Dunia  II,  maka  negara-negara  di  dunia  mengadakan konferensi di San Fransisco untuk membentuk Mahkamah Internasional yang baru.  Di  San  Fransisco  inilah,  kemudian  dirumuskan  Piagam  Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional. Menurut Pasal 92 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa disebutkan bahwa Mahkamah Internasional  merupakan  organ  hukum  utama  dari  Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun sesungguhnya, pendirian Mahkamah Internasional yang baru ini, pada dasarnya hanyalah merupakan kelanjutan dari Mahkamah Internasional yang lama,     karena banyak    nomor-nomor     dan    pasal-pasal  yang tidak mengalami perubahan secara signifikan. Secara umum, Mahkamah Internasional mempunyai kewenangan untuk:   
a.         Melaksanakan “Contentious Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas perkara biasa, yang didasarkan pada persetujuan para pihak yang bersengketa;
b.        Memberikan “Advisory Opinion”, yaitu pendapat mahkamah yang bersifat nasehat. 

Advisory  Opinion tidaklah  memiliki  sifat  mengikat  bagi  yang meminta, namun biasanya diberlakukan sebagai “Compulsory Ruling”, yaitu keputusan  wajib yang mempunyai kuasa persuasive kuat (Burhan Tsani, 1990; 217), sedangkan menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional sumber- sumber    hukum    internasional   yang  dipakai  oleh  Mahkamah  dalam mengadili perkara, adalah:   
a.         Perjanjian  internasional  (international  conventions),  baik  yang  bersifat umum, maupun khusus;   
b.        Kebiasaan internasional (international custom);   
c.         Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh negara-negara beradab;   
d.        Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui  kepakarannya,  yang  merupakan  sumber  hukum  internasional tambahan.

Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex aequo  et  bono,  yaitu  didasarkan  pada  keadilan  dan  kebaikan,  dan  bukan berdasarkan hukum, namun hal ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar negara-negara yang bersengketa. Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya final,  tidak  dapat banding dan hanya mengikat para pihak. Keputusan juga diambil atas dasar suara mayoritas. Yang dapat menjadi pihak hanyalah negara, namun  semua  jenis  sengketa  dapat  diajukan  ke  Mahkamah  Internasional.
Masalah  pengajuan  sengketa  bisa  dilakukan  oleh  salah  satu  pihak  secara unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari pihak yang lain. Jika tidak  ada  persetujuan,  maka  perkara  akan  di  hapus  dari  daftar  Mahkamah Internasional,  karena  Mahkamah  Internasional  tidak  akan  memutus  perkara secara in-absensia (tidak hadirnya para pihak).




















BAB III
PENUTUP

A.        Kesimpulan
Sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum, fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda. Adapun Prinsip-Prinsip dalam  Penyelesaian Sengketa Secara Damai adalah:
1.        Prinsip itikad baik (good faith);
2.        Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa;
3.        Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa ;
4.        Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa;
5.        Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus);
6.        Prinsip penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan suatu sengketa prinsip exhaustion of local remedies);
7.        Prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.


B.         Saran
Secara pribadi maupun sebagai bangsa Indonesia haruslah dapat memberikan kontribusi secara aktif dan perdamaian dunia. Sikap positif ini harus dapat kita tunjukkan apabila kita sebagai negara berdaulat terlibat suatu sengketa dengan negara lain diserahkan  kepada Mahkamah Internasional. Namun demikian, lebih jauh kita berharap agar jangan sampai ada persengketaan.



No comments:

Post a Comment